Inilah Sejarah Panjang Banjarmasin Ibukota Kalsel [Part I]
TANGGAL 24 September 1526, Pangeran Samudera memeluk Islam dan menjadi Sultan Banjar pertama dengan gelar Sultan Suriansyah. Tanggal ini lalu diabadikan menjadi hari jadi Kota Banjarmasin. Sampai berakhirnya masa Perang Banjar Barito, nasib sungai boleh dikata untung. Perusakan sungai justru terjadi hebat setelah era kemerdekaan. Kombinasi dari kebijakan pemerintah yang salah urus dan perilaku masyarakat yang bebal.
Pada 12 Oktober 1713, kapal East India Company (EIC) berlayar dari Inggris menuju Kalimantan. Dipimpin Kapten Daniel Beeckman, misinya membuka kembali perdagangan lada dengan Kesultanan Banjar. Misi ini berat. Sebab, beberapa tahun sebelumnya pecah konflik antara orang Banjar dan Inggris yang berujung pada pengusiran pemukim Inggris dari Banjarmasin.
Misi dua tahun ini ditulis Beeckman dalam jurnal pribadinya. Jurnal ini dipublikasikan tahun 1975 di London dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Komunitas Bambu tahun 2013 dalam buku Kalimantan Tempo Doeloe. Beeckman membuat banyak kesaksian penting. Perihal banyaknya rumah lanting, ramainya aktivitas pelabuhan dan betapa luar biasanya sungai-sungai di Banjarmasin. “Anak sungainya... Lebarnya dua kali Sungai Thames di Gravesend,” tulisnya kagum. Beeckman juga menyebut Pulau Tatas (sekarang kawasan Masjid Sabilal Muhtadin) sebagai pusat kota dan kontak penting bagi pedagang asing.
Jalur Darat Hasil Kerja Rodi
Secara puitis, Banjarmasin disebut kota seribu sungai karena saking banyaknya jumlah sungai di kota ini. Perlahan, banyak sungai mati karena kota yang salah urus. Sungai perlahan dilupakan ketika jalur darat menjadi prioritas pembangunan. Mengutip hasil survei 2013 oleh Dinas Sumber Daya Air dan Drainase Banjarmasin, hanya 150 sungai yang tersisa. 102 sungai diantaranya aktif, sisanya mati tertutup bangunan.
Pertanyaannya, sejak kapan jalur darat menjadi begitu penting? Barjie melacak jauh sampai masa Perang Banjar Barito. Belanda menilai, cara terbaik untuk memudahkan pengawasan terhadap daerah taklukan adalah dengan membangun jalur darat. “Memang tidak seterkenal kerja rodi (paksa) Jalan Anyer-Panarukan pada masa Gubernur Daendels. Tapi di sini kerja paksa serupa juga terjadi. Tanah rawa diuruk, bekas galian lalu menjadi sungai kecil,” jelasnya.

Tiap kali jalur darat selesai dibangun, Belanda memaksa warga yang bermukim terpencar di sekitar sungai untuk pindah ke sekitar jalur darat. “Jika menolak, pemukiman mereka dibakar,” imbuhnya. Kebijakan jalur darat ini perlahan mengubah budaya orang Banjar. Yang dulunya teras rumah menghadap sungai, berganti dapur yang menghadap sungai.
Namun menurut Barjie, Belanda tidak pernah sengaja merusak sungai. Matinya banyak sungai justru terjadi setelah era kemerdekaan. Barjie merunut penyebabnya. Dari aksi mengobral izin rumah toko (ruko), perda rumah panggung yang pengawasannya lemah, perilaku membuang sampah ke sungai, dan kebijakan antar walikota yang berubah-ubah.
“Semasa kuliah di IAIN Antasari tahun 1985, saya beli sayur dan ikan dari jukung yang melintasi Sungai Guring. Dalam waktu kurang 20 tahun, itu tinggal kenangan, daya rusaknya luar biasa cepat,” kenangnya.
Sungai Guring adalah anak Sungai Pekapuran. Sungai Guring kini terhimpit ruko dan pemukiman warga. Pada musim hujan, Sungai Guring menjadi penyebab banjir. “Sekarang tengok Sungai Ahmad Yani. Isinya limbah pedagang kaki lima, kada purun (tak tega) melihatnya. Pemko harusnya bersikap keras,” kecamnya.
Page: 1 2
Tidak ada komentar: