Sejarah Lengkap Pasar Terapung Lok Baintan Banjarmasin [Part II]

pasar terpaung, wisata banjarmasin, wisata banjar, sungai kuin, muara kuin

Dimana, di pusat Kerajaan Banjar di kawasan Kuin, banyak pedagang dari Jawa, Gujarat (India) dan Cina yang melakukan aktivitas perdagangan dengan masyarakat Banjar, ketika itu. Secara politik, kawasan Pasar Terapung juga tak luput menjadi medan pertempuran antara Kerajaan Banjar dengan Kerajaan Negara Daha, yang hanya terpicu dendam keluarga. 

Setelah Pangeran Tumenggung mengetahui bahwa keponakannya yang dibuang, diangkat menjadi raja dan menguasai Bandar saingan Bandar Kerajaan Nagara. Perang mulainya berkecamuk secara sporadis, hingga akhirnya terjadi penyerbuan dari Kerajaan Daha. 

Bahkan, pasukan Kerajaan Banjar sempat menghadang pasukan Negara Daha di kawasan Sungai Alalak. Namun, karena kalah kuat baik dari segi persenjataan maupun personil, akhirnya pasukan Banjar terus terdesak hingga memasuki 'areal terlarang' Kerajaan Banjar di kawasan Kuin. Agar tak terus terdesak, para petinggi Kerajaan Banjar berinisiatif untuk membuat benteng dari ancaman serangan Pasukan Kerajaan Negara Daha. 

Tepatnya, di kawasan Kuin Cerucuk ditancapkan tiang-tiap kayu ulin sebagai penyangga agar perahu musuh tidak bisa bersandar langsung ke Pelabuhan Bandarmasih, hingga kini nama Kuin Cerucuk diabadikan sebagai nama kampung yang berada di wilayah Banjarmasin Barat. 

"Waktu itu, perang terjadi di Sungai Alalak dan Sungai Kuin. Namun, ternyata kekuatan Pasukan Nagara Dipa lebih besar dibandingkan Pasukan Banjar hingga terdesak," masih cerita Ayip. Setelah terus mengalami kekalahan, atas usul Patih Masih yang memiliki hubungan dagang dan politik dengan para pedagang dari Jawa, terutama dari Kerajaan Mataram Islam, dijalin hubungan kemiliteran. 

Namun, sebetulnya, versi Ayip ini berbeda dengan versi yang kebanyakan ditulis dalam Sejarah Kerajaan Banjar, dimana Kerajaan Demak yang telah membantu Sultan Suriansyah dalam mengusir pasukan Kerajaan Daha. "Waktu itu Kerajaan Demak mulai runtuh, dan digantikan Kerajaan Mataram Islam. 

Walaupun sebetulnya kendali pemerintahan masih dibawah Kerajaan Cirebon," tutur Ayip yang yakin versi ceritanya ia dapatkan dari penuturan pendahulunya. Bantuan dari Kerajaan Mataram Islam pun datang. Namun, bantuan tidak 'gratis', sebab ada beberapa syarat yang harus dipenuhi Kerajaan Banjar, jika perang saudara ini dimenangkan Sultan Suriansyah, maka Kerajaan Banjar harus bersedia menjadi fusi atau bagian dari Kerajaan Mataram Islam serta agama Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan. 

Persyaratan itu disetujui, hingga dikirim sekitar 1.000 pasukan dari Kerajaan Mataram Islam dibawah pimpinan Fatahillah atau bernama Syarif Hidayatullah, hingga dikenal sebagai Khatib Dayan, meskipun nama sebenarnya adalah Khatib Dayat (berasal dari Hidayatullah), karena lidan Urang Banjar agak kedal, hingga dinamakan Khatib Dayan saja. "Namun, Fatahillah ini bukan Fatahillah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. 

Sebab, saat itu ada dua nama Fatahillah yang merupakan panglima perang sekaligus ulama," ujar Ayip. Atas bantuan Kerajaan Mataram ini, pasukan Kerajaan Banjar berhasil 'mengusir' pasukan Kerajaan Negara Daha bahkan sempat menyerang ke wilayah kerajaan tersebut. Namun, korban tetap berjatuhan dari kedua belah pihak. Untuk itu disepakati jalan arbitasi atau damai. Usulan perang tanding atau adu ilmu antara Sultan Suriansyah dengan Pangeran Tumenggung dipilih sebagai upaya penuntasan perang saudara berkepanjangan. 

Tawaran ini diakuri kedua belah pihak, hingga terjadi adu 'kedigjayaan' di atas dua perahu. Untuk Sultan Suriansyah, saat itu dikayuh oleh Patih Masih, sementara Pangeran Tumenggung di atas perahu yang dikayuh oleh Arya Trenggara–merupakan paman Sultan Suriansyah sendiri sebelum ia dibuang ke Muara Banjar. 

"Rupanya adu kesaktian tak terjadi. Saat itu, Pangeran Tumenggung justru menangis ketika mendengar cerita pahit yang dialami keponakannya tersebut. Makanya, ketika itu langsung disepakati perang berakhir dan damai," kata Ayip. Sejak saat itu, dua kerajaan yakni Kerajaan Banjar dan Kerajaan Nagara Daha digabungkan dalam satu 'komando' Sultan Suriansyah. 

"Sejak itu pula, Pasar Terapung berkembang secara alami. Karena, sebagian pedagang juga berasal dari Nagara," pungkas Ayip. Hingga kini, situs sejarah berupa Pasar Terapung, dan makam para Raja Banjar ini tetap terpelihara di kawasan Makam Sultan Suriansyah, Kuin Utara, sekitar 4 kilometer dari pusat kota Banjarmasin. 


Page: 1   2 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.